Cari Blog Ini

Selasa, 02 April 2013

penyesalan ku ayah


PENYESALAN KU AYAH
karya : riski puspita l

Ayah kandungku meninggal karna kanker paru-paru stadium akhir saat saya berusia 6 thn. Beliau juga meninggalkan Ibu & Adik saya yg masih berusia 2 thn. Sejak saat itu kehidupan kami sehari-hari sangat sulit. Setiap hari Ibu bekerja membanting tulang di sawah hanya cukup untuk menyelesaikan masalah perut saja.
Saat saya berusia 9 thn, Ibu menikah lagi dan menyuruh kami memanggilnya Ayah.lelaki itu adalah Ayah Tiri saya.dia seorang yg sangat rajin, Beliau juga sangat menyayangi Ibu. Pekerjaan apa saja dalam keluarga yangg membutuhkan tenaganya akan Beliau lakukan,  tidak membiarkan Ibu untuk campur tangan.sahari-hari Ayah Tiri adalah orang yangg pendiam. Usianya kira-kira 40-an lebih, memiliki bentuk badan yang tinggi dan kurus, tetapi bersemangat. Dahinya hitam, memiliki sepasang tangan besar yg kasar, di wajahnya yg kecoklatan terdapat sepasang mata kecil yg cekung.Ayah Tiri saya mempunyai suatu kebiasaan, tidak peduli pergi kemana pun, diatas pinggangnya selalu terselip sebatang pipa rokok antik berwarna coklat kehitaman.
Setiap ada waktu senggang dia selalu menghisap rokok menggunakan pipa itu. Sejak dulu saya tidak suka dengan perokok, oleh karenanya saya juluki dia dengan sebutan “setan perokok”.Dlm ingatan saya, Ayah Tiri selalu tenang dlm menghadapi segala persoalan, tdk peduli besar kecilnya permasalahan selalu dihadapinya dengn santai. Namun hanya karna sebatang pipa rokok, Ayah Tiri telah memberikan saya satu tamparan yang sangat keras.
Teringat waktu itu Ayah Tiri baru saja menjadi anggota keluarga kurang lebih setengah tahun, suatu hari saya menyembunyikan pipa rokoknya. Hasilnya, Beliau selama beberapa hari merasa gelisah dan tidak tenang, sepasang matanya merah laksana berdarah. Akhirnya karna saya diinterogasi dengan keras oleh ibu, dengn berat hati saya menyerahkan pipa rokok itu.Ketika saya menyerahkan pipa itu kehadapan Ayah Tiri, Beliau menerimanya denngan tangan gemetaran dan tak lupa Beliau memberikan saya satu tamparan keras, kedua matanya berlinangan air mata.
Saya sangat ketakutan dan menangis, Ibu menghampiri dan memeluk kepala saya lalu berkata, “Lain kali jgn pernah menyentuh pipa rokok itu, mengertikah kamu? Pipa itu adlh nyawanya!”Stlh kejadian itu, pipa rokok itu menjadi penuh misteri bagiku. Saya berpikir, “Ada apa dengn pipa itu sehingga membuat Ayah Tiri bisa meneteskan air mata? Pasti ada sebuah kisah tentangnya.”
Mungkin tamparan itu telah menyebabkan dendam terhadap Ayah Tiri, tidak peduli bagamanapun jerih payah pengorbanannya,saya tidak  pernah menjadi terharu. Sejak usia belia, saya selalu berpendapat Ayah Tiri sama jahatnya seperti Ibu Tiri dalam dongeng. Sikap saya terhadap Àyah Tiri sangat dingin, acuh tak acuh, lebih-lebih jangan harap menyuruh saya memanggil dia “Ayah”.Tapi ada sebuah peristiwa yg membuat saya mulai ada sedikit kesan baik terhadap Ayah Tiri.
Suatu hari ketika saya baru pulang sekolah, begitu masuk rumah segera melihat kedua tangan Ibu memegangi perut sambil berteriak kesakitan. Ibu berguking-guling di ranjang, butiran besar keringat dingin bercucuran di wajahnya yg pucat. Penyakit maag Ibu kambuh lagi! Saya & Adik menangis mencari Ayah Tiri yg bekerja di sawah. Mendengar penuturan kami, dia segera membuang cangkul ditangannya, sandal pun tidak sempat dia pakai. Sesampai di rumah tanpa berkata apapun, segera menggendong Ibu ke rumah sakit seperti orang sedang kesurupan. Ketika Ibu dan Ayah Tiri kembali ke rumah, hari sudah larut malam, Ibu kelelahan tertidur pulas di atas pundak Ayah Tiri.
Melihat kami berdua, Ayah Tiri dengn nafas tersanggah-sanggah, tertawa dan berkata kpd kami, “Beres, sdh tdk ada masalah. Kalian pergilah tidur, besok harus bersekolah!” Saya melihat butiran keringat sebesar kacang berjatuhan bagai butiran mutiara yg terburai, jatuh pada sepasang kaki besarnya yg penuh tanah.
Kesengsaraan yg saya alami dimasa kecil, membuat saya memahami penderitaan seorang petani. Saya menumpahkan segala harapan saya pada ujian masuk ke Universitas. Tetapi pertama kali mengikuti ujian, saya mengalami kegagalan.
“Bu, saya sangat ingin mengulang sekali lagi,” pinta saya pada Ibu.“Nak, kamu tahu sendiri keadaan ekonomi kita, adikmu juga masih sekolah di SMA, kesehatan Ibu juga tidak baik, pengeluaran dalam keluarga semua menggantungkan Ayahmu. Lihatlah sendiri ada berapa gelintir orang di desa ini yg mengenyam pendidikan SMA? Ibu berpendapat kamu pulang ke rumah untuk membantu Ayahmu!”
Tapi saya sudah berniat, bersikap teguh tidak mau mengalah. Saat itu Ayah Tiri tdk mengatakan apa-apa, Beliau duduk di halaman luar menghisap rokok dengan pipa kesayangannya. Saya tdk tahu di dalam benaknya sedang memikirkan apa.Esok harinya Ibu berkata pada saya, “Ayah setuju kamu kuliah, giatlah belajar!”Ayah Tiri menjadi orang yg pertama kali menerima dan membaca surat penerimaan mahasiswa saya. “Bu, anak kita diterima diperguruan tinggi!” teriaknya.
Saya dan Ibu berlari keluar dari dapur. Ibu melihat dan membolak-balik surat panggilan itu meski satu huruf pun dia tidak mengenalinya. Tetapi kegembiraan itu tersirat dari tingkah lakunya. Malam itu tak tahu mengapa Ayah Tiri sangat gembira hingga bicaranya juga banyak.Tetapi utk selanjutnya biaya uang sekolah perguruan tinggi sejumlah 4.000.000 itu membuat keluarga cemas. Ibu mengeluarkan segenap uang tabungannya serta menjual & meminjam kesana kemari, tetap masih kurang 500.000.“Gimana? Kuliah akan dimulai satu hari lagi”. Saat makan malam, hidangan diatas meja tidak ada satu orang pun yg menyentuhnya. Ibu menghela napas panjang sedangkan Ayah Tiri berada disampingnya sambil merokok, sibuk memperbaiki alat tani ditangannya, saya tidak tahu mengapa hatinya begitu tenang? Suara napas Ibu membuat hati saya hancur “Sudahlah saya tdk mau kuliah! Apa kalian puas?Saya berdiri dan bergegas masuk kamar, merebahkan diri di ranjang lalu mulai menangis !Saat itu saya merasakan ada satu tangan besar yg keras menepu-nepuk  pundak saya, “Sudah dewasa masih menangis, besok Ayah pergi berusaha, kamu pasti bisa kuliah.”Malam itu Ayah membawa pipa rokoknya, menghisap seorang diri di halaman rumah hingga larut malam, percikan api rokok yangg sekejap terang dan gelap menyinari wajahnya yang banyak mengalami pahit getir kehidupan.
Dia memejamkan sepasang mata, raut wajahnya menyembunyikan perasaan sangat berat.Besoknya Ibu memberitahu saya bahwa Ayah Tiri pergi ke kabupaten. “Pergi utk apa?” “Dia bilang pergi ke kota mencari teman menanyakan apakah bisa pinjami uang.”“Apa usaha temannya?” Ibu menggelengkan kepala, mulutnyaberkata, “t taidak tahu”hari itu saya menunggu di depan desa, memandang ke arah jalan kecil yg berliku-liku. Untuk pertama kali perasaan hati saya ada semacam dorongan ingin bertemu Ayah Tiri, dan utk kali pertama saya juga merasakan berharganya sosok Ayah Tiri dalam jiwa saya, masa depan saya tergantung pada dirinya.
Hingga malam saya baru melihat Ayah Tiri pulang. Saat saya melihat wajahnya yg penuh senyuman, hati saya yang selalu cemas, akhirnya bisa merasa lega. Ibu bergegas mengambil seember air hangat utk merendam kakinya. “Celupkanlah kakimu, berjalan pulang pergi 40 perjalanan cukup membuat lelah.” Dengan lembut Ibu berkata pada Ayah Tiri.
Saya mengamati wajah Ayah Tiri beliau bukan lagi seorang lelaki yang masih kuat dan kekar seperti dulu. Wajahnya pucat dan bibir membiru, dahinya hitam penuh dengan kerutan, rambut pendek serta tangan kurus bagaikan kayu bakar, penuh dengan tonjolan urat hijau.
Memang benar, Ayah Tiri sudah tua. Dengan hati-hati Ibu melepaskan sepasang sepatunya yangg hampir rusak. Di bawah sinar temaram lampu neon, terlihat sebuah benjolan darah besar yg sdh membiru, tak tertahankan hati saya merasa sedih, air mata saya diam-diam menetes.Keesokan hari ketika saya berangkat kuliah, Ayah Tiri mengatakan Beliau tidak enak badan, diluar dugaan Beliau tidak bisa bangun dari tempat tidur.
Dalam perjalanan mengantar saya kuliah Ibu berkata, “Nak, kamu sudah dewasa, diluar sana semuanya tergantung pada dirimu sendiri. Sebenarnya Ayah Tirimu itu sangat menyayangimu, Dia sangat mengharapkanmu memanggilnya Ayah! Tetapi kamu……”
Suara Ibu terbatah-batah, saya menggigit bibir dgn suara lirih berkata, “Lain kali saja, Bu!”Setiap kali membayar uang kuliah, Ayah Tiri pasti pergi ke kota untuk meminjam uang. saya jarang berbicara dengan Ayah Tiri di rumah, Beliau sendiri juga jarang menanyakan keadaan saya. Tetapi kegembiraan Ayah Tiri bisa dirasakan.
Setiap kali kembali ke tempat kuliah, Ayah Tiri pasti akan mengantar sampai ke tempat yg cukup jauh. Sepanjang perjalanan Beliau keabanyakan hanya menghisap pipa rokoknya. Semua yang ingin saya sampaikan kepada beliau tidak tau dari mana.Sebenarnya dalam hati kecil sejak dulu sudah menerimanya seperti ayah kandung, cinta kasih kadang kala sangat sulit utk diutarakan.
Pada liburan tahun baru, rumah terkesan ramai sekali. Saat itu saya sudah kuliah di semester 6. Adik meminta saya bercerita tentang hal-hal menarik di kota,Ayah Tiri duduk di belakang Ibu, sibuk mengeluarkan abu tembakau setelah itu memasukkan tembakau ke dalam pipa, wajahnya penuh dengan senyum kebahagiaan. Saya pun bercerita tentang keadaan kota.
“, teman sekelas kakak kebanyakan sudah mempunyai ponsel & laptop, sedangkan kakak sebuah arloji pun tidak punya” Saat itu saya melihat wajah Ayah Tiri sedikit tegang, segera ada perasaan menyesal telah mengucapkan kata itu.
Saat liburan usai saya hrs meninggalkan rumah kembali kuliah Seperti biasa Ayah Tiri mengantarkan saya. Sepanjang perjalanan, beberapa kali Ayah Tiri memanggil saya, tetapi ketika saya menanggapi, dia membatalkan berbicara, sepertinya mempunyai beban pikiran yg sangat berat. Saya sangat berharap Ayah Tiri bisa memulai topik pembicaraan, agar bisa berkomunikasi baik dengannya, namun saya selalu kecewa.
Ketika berpisah, Beliau berkata dengan kaku, “Saya tdk mempunyai kepandaian apa-apa, tidak bisa membuat hidup kalian bahagia, saya sangat menyesalinya. Jika jika kamu sukses nanti .harus berbakti pada Ibumu, biarkan Ibumu bisa menikmati hari tua dgn bahagia…” Saya menerima koper baju yg disodorkannya.
Tiba-tiba saya melihat ada genangan air dimatanya. Hati saya menjadi lemah, mendadak merasakan ada semacam dorongan hati yg ingin memanggilnya “Ayah”, tapi kata yang telah tersimpan lama ini akan terlontar dari mulut, mendadak tertelan kembali.
Ketika saya etlah berjalan jauh, saya lihat Ayah Tiri masih berdiri ditempat itu sama sekali tak bergerak, bagaikan patung.
Dalam hati saya berjanji: ketika pulang nanti, saya pasti akan memanggilnya “Ayah”. Namun kesempatan itu tak pernah saya dapatkan lagi. Saya tak mengira perpisahan kali ini untuk selamanya
.2 bulan setelahitu saya mendapat kabar bahwa Ayah Tiri meninggal dunia.benak saya menjadi kosong, serasa dunia ini sudah tiada lagi. Saya pulang dengan perasaan tak menentu, yang menyambut saya dirumah adalah pipa rokok berwarna coklat kehitaman yang tergantung di tembok.
Satu-satunya hal yang paling disesali Ayah adalah tidak seharusnya menamparmu, setiap kali mengantarmu kembali ke kampus, dia sangat ingin meminta maaf, tetapi ucapan itu selalu tak bisa keluar dari mulutnya. Sebenarnya masalah itu tidak bisa menyalahkan dirinya, kamu tidak tahu betapa sengsara hatinya, pipa itu adalah kesedihan seumur hidupnya!” Dgn hati pedih Ibu bercerita.
Melihat benda peninggalan itu teringat pemiliknya, dengan hati-hati  saya ambil pipa yangg tergantung di tembok itu, pandangan mata saya kabur karena air mata, merasakan kesedihan yg menusuk hati. Ibu juga tergerak hatinya, dia lalu bercerita tentang misteri pipa rokok itu…
30 thn lalu, Ayah Tiri hidup saling bergantung dgn Ayahnya. Ibu dgn Ayah Tiri adalah teman sepermainan sejakkecil. Setelah mereka tumbuh dewasa, mrkmereka sudah tak terpisah kan lagi. Tetapi jalinan kasih mereka mendapatkan tentangan keras Kakek, sebab keluarga Ayah Tiri terlalu miskin.
Karena Ibu dan Ayah Tiri dengan tegas mempertahankan hubungan merek, Kakek terpaksa mengajukan sejumlah besar mas kawin kepada keluarga Ayah Tiri baru mau merestuinya.
Demi anak satu-satunya, Ayah dari Ayah Tiri itu pergi bekerja di perusahaan penambangan batu bara. Malang tak dapat ditolak, terjadi kecelakaan di tambang itu. Dinding tambang runtuh dan menimbun sang Ayah utk selamanya. Barang peninggalan satu-satunya hanyalah pipa rokok kesayangannya semasa hidup.
Ayah tiri sangat sedih, seumur hidup orang yang paling dia hormati dan sayangi adalah Ayahnya. Kemudian Ayah Tiri menyalahkan dirinya & merasakan penyesalan yang mendalam hingga tak ingin hidup lagi.
Keesokan harinya dia diam-diam  meninggalkan rumah dengan membawa pipa rokok itu, tak seorang pun tahu kemana perginya
Dua tahun kemudian Ayah Tiri kembali lagi kekampung halamannya, tetapi 1 tahun sebelum Ayah Tiri kembali, Ibu dipaksa untuk menikah ( dgn ayah kandung saya). Untuk selanjutnya Ayah Tiri tidak menikah, yang menemani hidupnya adalah sebatang pipa rokok yang tidak pernah lepas darinya.
Setelah Ayah kandung meninggal, Ayah Tiri memberanikan diri menanggung segala tanggung jawab utk menjaga Ibu, Saya & Adik. Sejak awal Beliau menolak mempunyai anak sendiri, Beliau berkata kami ini adalah anak kandungnya.
Selesai mendengarkan cerita Ibu, tak terasa wajah saya penuh dengan air mata. Sungguh tak menduga jika pipa rokok itu bukan hanya memiliki kisah berliku perjalanan cinta mereka, namun juga mengandung ingatan yang amat berat seumur hidup Ayah Tiri!
Ayah Tiri meninggal dunia karena pendarahan otak, sebelumnya dia sudah tidak bisa berbicara, hanya memandang Ibu dengan tangannya menunjuk ke arah kotak kayu. Ibu mengerti maksudnya hendak memberikan kotak kayu tersebut kepadamu. Di dalam kotak itu terdapat beberapa lembar surat hutang, mungkin dia bermaksud menyuruhmu membayarkan hutangnya. Seumur hidupnya, dia tak ingin berhutang pada orang lainDengan .saya menerima kotak kayu itu dan membukanya dengan perlahan. Ada 8 lembar kertas di dalamnya. Saya membacanya dan terkejut bukan main, tubuh menjadi lemas terkulai diatas ranjang.
Ibu saya buta huruf, kertas-kertas yang ada dalam kotak itu bukan surat hutang seperti yg dikatakannya, melainkan tanda terima jual darah! Ayah tiri telah menjual darahnya! Kepala saya terasa pusing dan tangan saya lemas. Kotak kayu itu terjatuh, dari dalamnya keluar sebuah alroji baru,seperti yg pernah aku terucapkan dulu
Ayah! Ayah..Berlutut didepan kuburan Ayah Tiri dengn air mata bercucuran, saya hanya bisa menepuk-nepuk tanah merah yg ada dihadapan saya. Tetapi biar bagaimanapun saya berteriak tetap tak akan memanggil kembali bayangannya.
Ketika saya pergi meninggalkan rumah, saya membawa pipa rokok coklat kehitaman itu, saya akan mendampingi pipa ini untuk seumur hidup saya, mengenang Ayah Tiri utk selamanya.
....END....



Bottom of Form
·          
o     

3 komentar: